oleh: dr. setyawan
Cerdas, Energik, Dinamis?
Sosok remaja dari waktu ke waktu sering menjadi pusat perhatian, bahkan bahan perbincangan yang sangat menarik. Bisa saja karena usia remaja merupakan usia peralihan dari anak-anak menuju dewasa, atau bisa juga karena pada dasarnya di dalam diri si remaja banyak sekali ditemukan permasalahan. Baik yang berasal dari dalam dirinya sendiri, lingkungannya, maupun interaksi remaja dengan teman-teman sebayanya.
Remaja cerdas, sering diidentikkan seorang dengan kadar intelektual bagus, jenius, briliyan dan luar biasa, serta mempunyai prestasi akademik yang ‘mencengangkan’. Parameter masyarakat masih berpatokan bahwa kecerdasan diukur dengan kemampuan otak untuk melaksanakan tugas-tugas yang bersifat akademis. Remaja cerdas dan pintar selalu bermasa depan cerah, itu kata para orang tua, padahal remaja pintar tak selalu bermasa depan cerah. Hal itu akan terjadi apabila kepandaian hanya sekadar syarat agar disayangi dan dicintai orang tua atau diakui oleh lingkungannya. Remaja cuma berkutat pada usaha memenuhi syarat itu, bagaimana menjadi ranking satu, menjadi juara kelas, berprestasi akademik baik dll. Kemampuan mengenal, mengolah, dan mengungkapkan perasaan menjadi terkubur dalam-dalam. Akibatnya, ia menjadi tak bahagia bahkan sering mengalami gagap sosial, karena kemampuan yang dimiliki hanya bersifat akademisi, bahkan sering tidak mendapatkan pengakuan dari lingkungan, dianggap puker alias kurang pergaulan. Pendidikan formal memang sangat dibutuhkan, akan tetapi tidak diarahkan secara khusus pada kemampuan remaja mengenal kebutuhan pribadinya. Bisa dikatakan, remaja tidak dibiasakan mengenal perasaannya, emosinya, pribadinya. Akibatnya dia menjadi miskin informasi, kurang gaul, perkembangan intelegensi dan kecerdasan emosinya tidak seimbang, sehingga bisa menimbulkan perilaku-perilaku ekstrem. Bahkan berkembang menjadi penyimpangan perilaku yang cukup serius.
Apa pendapat Anda seandainya ada remaja cerdas dan sempat menduduki bangku kuliah ternyata terjerumus dalam dunia hitam, kriminalitas? Atau pelajar teladan yang ternyata hamil di luar nikah dan harus keluar dari sekolah? Atau seorang anggota paskibra sekolah yang terlibat penyalahgunaan narkoba bahkan masuk ke pusat rehabilitasi akibat overdosis? Pasti di antara Anda banyak yang menyayangkan, kasihan, atau bahkan ngomel menyalahkan orang tuanya. Padahal kita sendiri tanpa sadar menerapkan aturan-aturan yang berpatokan bahwa kecerdasan diukur dari kemampuan otak untuk bekerja maksimal, tanpa melihat bahwa seorang remaja punya kebutuhan-kebutuhan yang lain, seperti bersosialisasi dengan lingkungan, bergaul dengan orang lain, berpendapat dll.
Demikian juga sosok remaja yang dinamis dan energik, seringkali rancu dengan remaja yang agresif dan hiperaktif. Padahal yang terakhir ini justru berkonotasi negatif dan menunjukkan bahwa remaja hanya mengandalkan kekuatan ototnya saja, tanpa mengindahkan kemampuan-kemampuan yang lain. Sebenarnya pengertian dinamis dan energik lebih mengarah pada pemahaman sosok remaja yang mampu bergerak aktif dan selalu mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan, inovatif, kreatif dan penuh ide cemerlang.
Perkembangan pergaulan remaja
Dalam kurun waktu tertentu, ternyata perkembangan informasi menunjukkan bahwa tingkat perilaku yang dikategorikan ‘menyimpang’ banyak dialami oleh kelompok remaja. Baik penyimpangan-penyimpangan perilaku sosial, maupun penyimpangan perilaku seksual. Dan belakangan justru penyimpangan perilaku seksual sering menjadi menu berita sehari-hari, baik di surat-surat kabar, televisi, media internet. Seorang remaja hamil di luar nikah, tindakan perkosaan dengan pelaku seorang remaja, penyimpangan seksual dll.
Hal ini ternyata dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti usia menarche atau kematangn seksual pada remaja yang sudah lebih dini, paparan visualisasi yang merangsang di media massa, standar gizi yang semakin membaik.
Dengan hormon seksual yang sudah diproduksi itulah seorang remaja membutuhkan penyaluran dalam menuntaskan dorongan seksnya.
Lantas bagaimana pergaulan remaja yang sehat, memang agak sulit didefisnisikan, karena seringkali benturan muncul dari sisi budaya, norma masyarakat dan agama. Beberapa contoh di bawah ini menunjukkan bahwa ternyata sulit menterjemahkan yang wajar dalam bahasa ‘sehat’.
- masturbasi seringkali diterjemahkan sebagai penyimpangan perilaku, sekalipun sebenarnya hanya merupakan penyaluran dorongan seks
- pacaran dikalangan remaja, sering identik dengan perilaku seks, walaupun sebenarnya masih banyak yang berperilaku sehat dalam pacaran
- menstruasi dan mimpi basah yang merupakan penanda awal seseorang memasuki masa puber, sering berhubungan dengan mitos-mitos yang tidak benar
- dugem atau kebiasaan nongkrong di malam minggu, entah di pusat keramaian, diskotik, mal dll seringkali masih berkonotasi negatif
- gank di kalangan remaja sering menimbulkan solidaritas terhadap teman yang berlebihan sehingga sering berkembang pada aktifitas tawuran pelajar.
Sekedar renungan
Nah, lantas apa yang dimaksud dengan remaja cerdas? Apa pula yang diartikan sebagai remaja yang energik dan dinamis?
Bagaimana menjadi remaja yang cerdas, energik, dinamis?
Untuk memperkaya emosi anak, sebenarnya orang tua juga bisa memberi kesempatan kepada anak untuk mengikuti kegiatan yang dia inginkan, hobby yang dimiliki, misalnya di bidang musik atau olahraga. Dalam pendidikan formal bidang-bidang ini masih dianggap kurang penting seperti halnya mata pelajaran "mafia": matematika, fisika, dan kimia. Padahal, melalui kegiatan berkesenian dan olahraga anak bisa berlatih mengolah perasaan dan memupuk sportivitas. Berhasil atau tidak, kalah atau menang, mestinya tidak perlu terlalu dipermasalahkan orang tua. Namanya juga mencoba!! Lagi pula, tidak semua pecatur bisa jadi Grand Master macam Utut Adianto. Cuma ada satu atau dua orang yang bisa seperti itu, ibaratnya.
Nah, bagi remaja yang tidak punya jati diri atau kepribadian kuat biasanya akan gampang terbawa emosi dan mudah ikut-ikutan tren yang ada. Kalau sekarang ini tontonan favorite remaja adalah sinetron atau film Eifel I’m in Love, maka semua yang ditonton itulah yang akan diikuti sebagai satu tren dan remaja mengikuti tren atau pun nilai yang disampaikan lewat sinetron. Tapi remaja yang punya jati diri biasanya masih akan menyaring nilai yang disuguhkan dalam sinetron. Dia akan memilih , tontonan mana yang memang baik untuk ditonton, bernilai positif dan merangsang kemampuan berpikir.
Remaja sebenarnya terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu remaja 'instan' dan remaja cerdas yang mau berpikir. Remaja cerdas biasanya tidak begitu suka dengan sinetron remaja yang tidak berisi. Mereka biasanya lebih suka dengan film atau acara yang lebih mengajak mereka untuk berpikir. Sementara remaja 'instan' lebih suka hal-hal yang instan saja, tanpa mau menyaring mana yang bisa diambil hikmahnya. Mereka lebih suka menikmati sesuatu tanpa harus capek-capek berpikir.
Sementara sinetron kegemaran mereka adalah sinetron yang alur ceritanya datar dan bisa membuat mereka berkhayal. Dan sesuai dengan kebiasaan mereka yang suka hal-hal instan, maka tipe remaja seperti ini juga lebih suka bermalas-malas, tidak energik, apalagi dinamis dan inovatif?
Memang benar bahwa cerdas saja tidak cukup. Kita lihat sama-sama cerdas ada yang sukses ada pula yang hidupnya gagal. remaja cerdas tidak dijamin jadi kaya, tidak dijamin menjadi terkenal, tapi dengan kecerdasannya seorang remaja bisa menjadi dirinya sendiri, bisa mengenal pribadinya, bisa bertindak sesuai hati nuraninya. Remaja perlu itu!!
1 Comments:
remaja terkadang salah kaprah tentang arti seks itu sendiri karena mereka jarang punya wadah untuk bertanya dan mencari tau karena masih dianggap tabu, dengan rasa penasarannya mereka akhirnya mencari di situs XXX. kalo remaja salah kaprah tentang seks siapa yang mesti di salahkan oleh orang tua dan masyarakat kalo bukan remaja itu sendiri? dengan penilaian yang seperti ini terhadap remaja tentunya semakin menambah jarak antara remaja dan orang tuanya... so, what we can do?
Post a Comment
<< Home